Banda Aceh (TROBOS.COM). Induk sapi potong yang diimpor pada 2016 populasinya telah meningkat 300 ekor, dari populasi awal 4.397 ekor menjadi 4.697 ekor atau naik 6.8%.

Data itu disebutkan oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita pada Rabu (6/9) di Banda Aceh. Kenaikan tertinggi terjadi di provinsi Riau, yaitu 12.1% (jumlah kelahiran 165 ekordari 1.362 ekor), diikuti oleh Aceh sebesar 8.1% (jumlah kelahiran 92 ekor dari 729 ekor), dan Sumatera Utara 3.3% (jumlah kelahiran sebanyak 318 ekor dari total populasi awal 2.306 ekor).

Sayangnya, tingkat kematian tercatat mencapai 331 ekor atau 7.53% dari populasi awal. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kelahiran sebesar 6.8%.

“Kami sangat mengapresiasi semangat dan kerja keras yang telah dilakukan, baik oleh petugas maupun kelompok peternak dalam upaya mensukseskan upaya peningkatan populasi serta kesejahteraan peternak melalui pengembangan sapi indukan ini”, kata I Ketut Diarmita pada pembukaan Bimbingan Teknis (Bimtek) penerapkan kesejahteraan hewan dalam budidaya ternak sapi potong itu.

Jika dilihat dari data per propinsi, maka terjadi pertumbuhan populasi di Provinsi Aceh dari total populasi awal 729 ekor, menjadi 788 ekor dengan kelahiran sebanyak 92 ekor, kematian sebanyak 33 ekor atau terjadi penambahan sebanyak 59 ekor (8.1%).

Sebagaimana diketahui bahwa dalam rangka percepatan penambahan populasi sapi dalam negeri, Pemerintah, melalui Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan telah memberikan bantuan pengadaan sapi indukan Brahman Cross sebanyak 4.397 ekor yang berasal dari Australia pada tahun 2016 kepada182 kelompok peternak terpilih di 3 provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara dan Riau.  

Wajib Mengindahkan Kesejahteraan Hewan
Ketut Diarmita meminta kepada peternak agar menerapkan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan (kesrawan) dalam budidaya ternak sapi potong.

Dijelaskannya kesejahteraan hewan menjadi pertimbangan dalam perdagangan Internasional. Berdasarkan amanat Undang– Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah diubah dengan UU no. 41 tahun 2014, khususnya Pasal 67, penyelenggaraan kesrawan dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama Masyarakat. “Dengan demikian penerapan kesrawan merupakan tanggung jawab bersama,” kata I Ketut Diarmita.

Lebih lanjut I Ketut Diarmita menjelaskan, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kesehatan fisik dan mental hewan atau kesrawan dengan produktifitas hewan. Hewan yang mengalami perlakuan atau penanganan yang buruk akan memiliki tingkat reproduksi, pertumbuhan dan produksi yang lebih rendah.

Sebab ketika seekor hewan ditempatkan di lingkungan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (kandang, pakan, air, kontak sosial, suhu atau penanganan hewan), maka fungsi fisiologis tubuh hewan harus menyesuaikan untuk memberi kompensasi.

“Mekanisme penyesuaian tubuh dan perilaku yang digunakan untuk 'mengatasi' kondisi yang tidak sesuai ini akan mengalihkan energi dari fungsi penting, seperti pertumbuhan, reproduksi dan produksi, menjadi energi untuk menjaga kondisi internal hewan,” ungkap dia

“Oleh karena itu, mengabaikan kesrawan dapat mengakibatkan kerugian dalam pertumbuhan, produksi dan reproduksi hewan ternak tersebut”, jelasnya menambahkan.

I Ketut Diarmita menyampaikan, Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah penerima bantuan sapi indukan Brahman Cross tahun 2016, maka diharapkan bantuan pemerintah tersebut dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan populasi sapi potong di dalam negeri,”  ucapnya.

Ketut juga mengetahui dan dapat memahami permasalahan-permasalahan yang dialami oleh petugas dan kelompok di lapangan dalam memelihara sapi indukan brahman cross. “Tentunya berbeda dengan sapi lokal, sehingga memerlukan pengetahuan, keterampilan, keuletan dan kesabaran untuk dapat mencapai hasil sebagaimana yang kita harapkan,” tutur I Ketut Diarmita.  

I Ketut Diarmita menjelaskan, di negara asalnya, sapi-sapi brahman cross dipelihara dengan cara ekstensif, dilepas bebas di padang penggembalaan, dan sangat jarang bertemu dengan manusia sehingga sulit dikendalikan. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap cara penanganan dan pemeliharaannya pada saat mereka tiba dan dikembangkan di Indonesia. Untuk itu, diperlukan SDM yang terampil dan memiliki kecakapan khusus untuk menangani sapi-sapi indukan ex Australia tersebut.

Untuk meminimalisir kendala-kendala itu Ditjen PKH telah menyiapkan standar operasional prosedur dan petunjuk kerja pengawalan terkait pemberian pakan, pemeliharaan ternak, kesehatan hewan penerapan kesejahteraan hewan dan pelaporan. ist/ntr

sumber : majalah trobos.com